Senin, 04 Mei 2009
Senja itu indah. Kalimat itulah yang terus terpatri dalam benakku. Aku sangat menyukai senja. Karena senja itu indah…
Di sinilah aku sekarang. Menatap dalam diam ke arah jendela yang seolah dihiasi oleh pemandangan senja. Tak mengerti apakah harus senang atau sedih menatap senja. Senang karena aku masih bisa melihat senja, yang berarti Tuhan masih mengizinkan aku untuk bernafas. Sedih bila akhirnya ini adalah senja terakhir yang harus kupandangi.
Aku terus berharap masih ada senja-senja yang terus menantiku di hari esok. Rutinitas inilah yang kerap kulakukan bila senja datang menggantikan sore. Ada rasa tak sabar saat aku menunggu saat datangnya senja. Tak sabar untuk segera bercerita.
Menceritakan semua yang ingin kuceritakan. Bukan berarti aku tak memiliki siapa-siapa. Aku masih mempunyai orang tua yang sangat menyayangiku, meski rasa sayang mereka tertutupi oleh kesibukan mereka masing-masing. Aku tahu pekerjaan yang mereka lakoni merupakan salah satu pelarian dari kesedihan yang mereka rasakan selama ini.
Aku bisa merasakan aura duka itu. Mereka hanya menggunakan kesibukan mereka sebagai topeng, sebagai tempat bersembunyi dari semua yang harus mereka jalani. Padahal di balik semua itu hati mereka sangat rapuh. Bagaimana tidak rapuh bila suatu saat nanti mareka harus siap menerima kehilangan seorang anak. Dan statusku sebagai anak tunggal seolah ikut menggenapkan duka mereka. Karena apabila ‘saat itu’ telah datang, tak ada lagi yang menggantikanku sebagai anak mereka.
Aku masih termangu dalam diam. Ingatanku seolah menjemput memori masa laluku, saat di mana aku menganggap bahwa senja adalah hal biasa. Hanya sebuah fenomena alam. Saat di mana aku menghabiskan hariku bersama ayah dan bunda. Saat di mana senyuman dan tawa bukan sesuatu yang langka di antara kami. Saat di mana aku bisa melakukan semuanya sendiri. Ya, sendiri. Sampai ‘hari itu’ datang seolah meminta untuk kulalui..
Hari yang kelam. Hari yang senjanya tak begitu indah, karena ditutupi oleh mendung. Hari yang menurutku awal dari jalan menuju akhir hidupku.
Mendung di senja itu sudah menjelma menjadi hujan yang membasahi jalan yang kulalui bersama teman-temanku. Saat aku dan teman-temanku baru saja menghadiri reunian. Rasa rindu tak bisa terbendung saat bertemu teman lama. Tapi peristiwa naas itu seolah menjadi bagian dari kisah bahagiaku.
Bus yang aku tumpangi terbalik saat melalui jalan yang sangat licin. Separuh dari nyawa yang ikut di dalam bus, terbang dibawa angin yang berhembus di senja itu. Inikah akhir dari cerita rindu kami? Aku bingung, apakah harus bahagia atau menangis saat tahu aku menjadi salah seorang yang nyawanya terselamatkan.
Tentu saja dengan badan yang hampir remuk. Kepalaku tak sedikit mengeluarkan darah, yang mengalir bersama tetesan air hujan. Hanya itu yang kuingat. Yang kutahu semenjak saat itu, hidupku berubah. Kepala sering terasa pusing. Hidungku selalu mengeluarkan darah secara tiba-tiba. Dan aku semakin sering pingsan. Aku tak tau penyakit apa yang telah menyerangku.Yang jelas penyakit ini perlahan menghilangkan fungsi dari masing-masing organ tubuhku.
Matahari sudah benar-banar tenggelam di ufuk barat, menandakan senja sudah berakhir. Lamunanku terhenti saat mendengar suara bunda di balik pintu kamarku. Tanpa sadar tanganku menyapu pipiku yang basah. Ternyata aku menangis. Aku memang tak pernah kuasa membendung air mataku bila mengingat peristiwa itu.
“Masuk, Bun…” ucapku lirih. Suaraku bergetar.
Bunda tersenyum lembut kearahku, “Syafa, ayo kita makan malam. Ayah sudah menunggu di ruang makan.”
Aku hanya mengangguk. Bunda berjalan menujuku. Kemudian ia mulai mendorong kursi rodaku. Ya, inilah aku, Syafa Syaqila. Dengan usia 16 tahun 3 bulan lalu kakiku mendadak lumpuh. Aku mengira ini bagian dari penyakit aneh yang menyerangku. Beginilah aku sekarang. Hidupku bertumpu pada kursi roda yang sekarang kutumpangi. Aku takut penyakit ini terus menggerogotiku. Hingga akhirnya merenggut nyawaku.
Ternyata ayah memang sudah menungguku di meja makan. Lengkap dengan makan malam yang sudah terhidang di atasnya. Ayah menyambutku dengan senyuman yang sama lembutnya dengan bunda.
“Apa kabar kamu hari ini, sayang?” Tanya ayah sambil mengusap kepalaku, seolah-olah aku anak yang berusia 5 tahun.
“Baik Yah…” jawabku ragu. Ragu karena dengan kenyataan ini apakah hidupku bisa digolongkan baik.
Ayah hanya tersenyum getir mendengar jawabanku. Selanjutnya kami makan malam ditemani diam. Sampai akhirnya Ayah membuka topik pembicaraan yang mengingatkan aku bahwa lusa adalah hari ulang tahunku. Ayah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-17 tersebut.
Senang? Tentu saja aku senang. Tapi aku tidak mungkin lompat-lompat untukmenunjukkan rasa senangku. Aku hanya bisa tersenyum. Saat Ayah dengan antusiasnya menceritakan rencana-rencananya untuk ulang tahunku, tiba-tiba saja, sendok dan garpuku terhempas. Dan tanpa bisa kukontrol, kedua tanganku tiba-tiba terjatuh ke sisi kursi roda. Aku bingung dengan apa yang terjadi padaku. Begitupun dengan tatapan ayah dan bunda yang di tujukan padaku.
“Bun…” suaraku mulai bergetar hebat, mataku mulai memanas. Aku menangis.
Tanganku tiba-tiba tidak bisa kugerakkan. Aku melihat ayah dan bunda mulai cemas.
Kemudian gelap, aku pingsan.
***
Langit-langit kamar putih yang pertama kali kulihat saat aku tersadar dari pingsanku yang ntah sudah berapa lama. Bau obat yang menusuk hidung meyakinkanku bahwa aku berada di rumah sakit. Ayah, Bunda, orang pertama yang kulihat disekelilingku. Mata bunda terlihat sembab, menandakan ia baru saja menangis. Aku hanya tersenyum kepada mereka, seolah-olah meyakinkan bahwa aku tidak apa-apa.
Tapi rasa sakit itu tak bisa kupungkiri. Sakit yang bergejolak di dada ini seolah mendobrak senyumku menjadi sebuah air mata yang kini mengalir di pipiku.
Tapi dengan lirih aku tetap berkata, “Bunda? Syafa pasti sembuh kan, Bunda?”
Bunda yang mendengarkannya hanya mengangguk. Tapi anggukan menyiratkan ketidakpastian dengan apa yang ia rasakan. “Iya, saying. Kamu pasti sembuh kok. Makanya kamu harus kuat ya…” Ayah angkat bicara. Ada kelegaan yang luar biasa yang kurasakan, yang bisa dapat mengurangi rasa sakit di dadaku ini. Walau hanya sedikit.
“Ayah, nanti kalau Syafa udah sembuh, Syafa mau lihat senja ya, Yah?” Kini giliran ayah yang hanya bisa mengangguk mendengar pertanyaanku. “Ayah., Bunda, Syafa mau tidur dulu ya, Syafa ngantuk..” kataku dengan nada yang kubuat seceria mungkin. Bunda segera menyelimutiku dan mencium keningku.
Rasa sakit di dadaku memaksaku untuk bangun dari tidurku. Keringat dingin mulai mengalir dari seluruh tubuhku. Ya Tuhan, apa lagi yang kurasakan ini? Kenapa dadaku terasa begitu sakit? Apa kau akan membunuhku dengan menghentikan detak jantungku? Ayah dan bunda yang melihatku terbangun dengan nafas yang tersengal-sengal, mendekati tempat tidurku, “kamu kenapa sayang?” tanya ayah khawatir.
Bunda mengusap-ngusap kepalaku, sambil menenangkanku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya menggeleng. Badanku yang lemas menjadikan suaraku menjadi sangat pelan. “Peluk Syafa, Bunda! Syafa kedinginan.” Bunda segera memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan adanya rasa takut kehilangan di sana. “Bunda, Syafa boleh minta sesuatu, Bunda?”
“Boleh, sayang.“
“Syafa mau lihat senja, Bunda…”
“Sekarang?”
Aku mengangguk. Bunda mengalihkan pandangannya ke ayah. Ayah menatap jam di pergelangan tangannya, kemudian mengangguk. Lima belas menit kemudian aku sudah berada di pantai dekat rumah sakit. Aku tersenyum saat sampai di sana..
Senja yang begitu indah. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat senja. Ayah menurukanku dari gendongannya, ke kursi roda yang bunda dorong. Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berkata,
“Ayah…bunda…maafin Syafa ya. Karena selama ini Syafa ga’ bisa jadi anak yang ayah dan bunda banggain. Cuma bisa nyusahin kalian.. Tapi karena itu juga Syafa harus bilang makasih. Karena kalian udah jadi orang tua yang nggak tergantikan. Bunda yang nggak pernah ngeluh ngerawat Syafa. Ayah yang selalu bisa buat Syafa tersenyum. Syafa senang waktu dengar kalian mau ngerayain ulang tahun Syafa. Seharusnya hari ini kita ada di rumah nyanyiin lagu ulang tahun buat Syafa. Tapi Syafa nggak bisa buat apa-apa kalau semuanya jadi kayak gini. Maafin Syafa..”
Bunda memelukku seperti di rumah sakit. Ayah yang sekarang ikut memelukku berkata, ”Nggak sayang…kamu nggak ngerepotin kok. Kamu udah buat kami bangga dengan jadi anak kami.”
“Makasih, Yah..” Andai saja tanganku ini bisa kugerakkan, pasti aku akan memeluk mereka lebih erat lagi. Tapi sayang, rasa sakit di dadaku tak juga berkurang, namun aku tak ingin menangis. Tak ingin membuat mereka menangis. “Bunda jangan nangis…”
“Bunda nggak nangis sayang. Bunda senang karena hari ini umur kamu udah 17 tahun. Berarti anak bunda udah besar”
Aku ikut tersenyum, “Bunda….Ayah…Syafa capek. Syafa tidur dulu ya…”
Ayah dan bunda melepas pelukannya. Kemudian menyelimuti dengan selimut yang mereka bawa. Sebenarnya ada rasa takut saat aku ingin menutup mata ini. Takut aku tidak akan terbangun lagi nantinya. Tapi aku yakin, Tuhan sudah menggariskan hidup manusia sejak lahir. Aku harus terima jika hidupku harus berakhir di sini..Aku menutup mataku dengan tenang. “Selamat tinggal Ayah, Bunda. Selamat tinggal dunia..Selamat tinggal senja…
Label: cerpen